MUHAMMAD NATSIR GELAR DATUK SINARO PANJANG; PEJUANG YANG DIPAKSA MENYINGKIR

Politiknya santun, kritiknya sangat tajam, dan selalu istiqamah menegakkan kebenaran, walaupun itu sangat pahit, sepahit kehidupan penjara dan disingkirkan

Nama lengkapnya Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908 dari pasangan Idris Sutan Saripo dan Khadijah. Pendidikan formalnya di mulai pada tahun 1916 saat usianya 8 tahun, Natsir sudah memasuki Holland Inlandse School (HIS) yang didirikan tanggal 23 Agustus 1915 oleh Haji Abdulllah Ahmad (salah seorang tokoh pembaharu) di Kota Padang. Masa pendidikan Natsir di sekolah ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan, sebab ia kemudian dipindahkan ayahnya ke HIS Pemerintah yang sepenuhnya mengikuti sistem pendidikan sekuler Barat di Kota Solok. Setelah lulus dari HIS pada tahun 1923. Natsir melanjutkan di Midlebare Uitgebreid Larger Orderwy (MULO). Di sini Natsir aktif dalam keanggotaan pandu Natipij dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane yang kemudian terkenal sebagai sastrawan Indonesia. Pada tahun 1927, Natsir berhasil menyelesaikan pendidikannya.
Setelah itu, Natsir pergi ke Bandung dan melanjutkan pendidikan formalnya di Algeme Middelbare School (AMS). Di sekolah ini ia mulai menekuni ilmu pengetahuan Barat, lebih tekun dari masa-masa sebelumnya. Di sini juga Natsir bertemu dengan banyak kalangan, dan berdialektika dengan beragam pemikiran yang berkembang waktu itu. Termasuk bertemu dengan tokoh Persatuan Islam (Persis) Ahmad Hasan yang menjadi gurunya dalam menulis dan berargumentasi, Haji Agus Salim dalam bidang politik dan Ahmad Soorkati.
Natsir adalah pribadi yang sangat cerdas, santun dan berwibawa. Ketika di AMS Natsir mendapat nilai tertinggi dalam bidang bahasa Latin (10). Di samping itu, Natsir juga mahir berbahasa Arab, Belanda, Jerman, Inggris, Prancis dan Latin sendiri. Oleh karenanya, Natsir mudah mengakses ilmu pengetahuan yang menggunakan bahasa tersebut sebagai pengantar. Sehingga tidak aneh, saat berusia 21 tahun, Natsir sudah fasih menjelaskan peradaban dunia yang berbasis pada Islam, Romawi, Yunani dan Barat.
Pada tahun 1927 Natsir meneruskan studi Keislaman pada Persatuan Islam Bandung, lalu aktif di Persis menjadi anggota redaksi pada majalah tengah bulanan Pembela Islam yang terbit mulai tahun 1929. Akan tetapi sangat disayangkan, pada tahun 1935 Majalah tersebut dilarang beredar oleh pemerintah Kolonial Belanda karena dianggap menyerang misi Kristenisasi di Indonesia.
Tantangan kristenisasi itu memberikan hikmah karena secara ideologis memperkuat kelompok anggota Persatuan Islam terhadap ikatan-ikatan ideologis mereka. Bagi Natsir sendiri, hal itu memperkuat kesadaran politiknya bahwa Kolonialisme menciptakan diskriminasi status dan posisi Islam dibandingkan dengan posisi dan status Kristen. Keadaan ini juga menyebabkan ia begitu sensitive terhadap masalah hubungan Islam – Kristen di masa-masa selanjutnya.
Natsir adalah seorang pendidik. Baginya, tidak ada jalan lain untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, kecuali dengan cara mendidik dan memberi teladan yang baik. Ia juga menggagas berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI). Namun tidak bertahan lama.
Pada dekade 1920-1930-an merupakan fase ujian berat bagi Natsir. Sebab selain menghadapi gerakan nasionalis sekuler pimpinan Soekarno dan kawan-kawan, Natsir juga menghadapi gerakan Kristenisasi yang memperoleh proteksi dan dukungan financial serta politik pemerintahan kolinial, khususnya di masa gubernur Jenderal Indenburg. Di mata Natsir, pemerintah bertindak tidak adil dalam menyelesaikan masalah pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan Ten Berge, mantan pastor di Hindia Belanda. Berge pada April 1931, menulis artikel dalam majalah Studien bahwa Muhammad itu seorang antropomorpis, Arab buta huruf, pemuas nafsu syahwat yang kasar yang biasa tergolek di atas pangkuan perempuan.
Natsir membalas penghinaan itu dalam majalah Pembela Islam. Dalam artikelnya, “Islam, Katholiek dan Pemerintah, Ia menulis, “Sungguh cukup lama kita kaum Islam mendengarkan, membiarkan segala macam rengakan kepada Islam. ada cara “halus” dan ada cara kasar; dari pihak politik sebagai Snouck Hurgronye, sampai kepada Kristen Protestan Kraemer dan Crhistoffels, dari jahil murakkab Oie Bie Thai sampai Kristen Katholiek Ten Berg, belum disebut lagi murid-muridnya politikus, Protestan dan Katholiek itu yang menamakan diri mereka “Neutral-Agama”. Natsir juga menyindir sikap pemerintah Belanda yang selalu berpihak kepada misionaris Kristen.
Natsir juga menyerang kelemahan-kelemahan dotrinal Kristen dalam tulisannya, “Roh Suci”. Menurut Natsir Injil tidak suci lagi karena bercampur dengan kesalahan-kesalahan manusia. Kesalahan itu membuktikan penulisan Injil ditulis tidak di bawah bimbingan Tuhan sebagaimana dikemukakan para pendeta dan pastor. Injil sekarang, menurutnya, sudah rusak karena mengalami berkali-kali terjemahan, dari bahasa Armenia, atau Hebrew ke dalam bahasa Yunani, Romawi dan lain-lain, atau karena campur tangan sinode-sinode pemeriksa Bible.
Pada tahun 1940an, Natsir terlibat polemik dengan Soekarno, tentang agama dan Negara. Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari Negara. Ia berpendapat, dengan mengutip, diantaranya pendapat Ali Abdul Raziq, bahwa dalam al-Qur’an dan Sunnah maupun ijma’ ulama, tidak ada keharusan adanya bersatunya Negara dengan agama. Soekarno memberi contoh Turki, di mana Mustafa Kemal Attartuk memisahkan agama dari Negara. Dan menurut Soekarno, berhasil membaw Turki kepada kemajuan.
Tapi bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari Negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakan pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis atau Komunisme. Keselapahaman terhadap Negara Islam, Negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam.
Natsir berkata: “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan Negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “haremnya” menontin tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya duduk mengepalai “kementrian kerajaan” beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memeng beginilah gambaran “Pemerintahan Islam” yang digambarkan di dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa Chalifah = Harem; Islam = Poligami.
Natsir menyarankan jika ingin memahami agama dan Negara dalam Islam secara jernih, maka hendaknya mampu menghapuskan gambaran keliru tentang Negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “Negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal Attaturk.
Ketika Soekarno sebagai Presiden sudah mengarah pada penyimpangan amanat UUD 1945, Natsir kembali angkat bicara dan fisik. Bersama Syafruddin Prawiranegara dan Berhanuddin Harapan yang didukung oleh puluhan politisi menuntut agar dibentuk kabinet yang dipimpin oleh Muhammad Hatta dan Hamengkubuwono IX. Puncaknya adalah dikeluarkannya ultimatum pada 10 Februari 1958. Isinya, jika pemerintah pusat tidak memberikan jawaban, maka mereka menganggap tak punya kewajiban taat kepada pemerintah yang melanggar UUD. Tak ada jawaban, dan Kolonel Simbolon membentuk Dewan Gajah, panglima-panglima lainnya membentuk Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Pasukan Harimau Liar. Mereka kemudian membentuk pemerintahan tandingan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat, Natsir bersama Syafruddin dan Burhanuddin Harapab bergabung dengan panglima-panglima milter tersebut mengangkat senjata dan masuk hutan. Setelah Sumatera Barat dikuasai oleh pemerintah, Natsir bersama beberapa petinggi PRRI tertangkap.
Pada 17 Agustus 1959 Soekarno mengumumkan pengampunan bagi para “pemberontak” PRRI. Natsir dan beberapa rekannya menyambut baik tawaran amnesti Seokarno. Tapi mereka terkejut dan tertipu. Soekarno, melalui Jenderal Nasution, ternyata bukan memberikan amnesti, tetapi mengirimkan mereka ke tempat pengasingan di Batu, Malang, Jawa Timur. Setelah itu, mereka dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Keagungan Jakarta, berstatus tahanan politik (1962-1966). Di RTM itu, selain Natsir terdapat beberapa musuh-musuh Soekarno lainnya seperti Hamka, Prawoto, Syahrir, Subandio Sastrosatomo dan Mochtar Lubis. Natsir dan beberapa tahanan politik lainnya dibebaskan pada Juli 1966. Setahun kemudian terjadi peralihan kekuasaan. Pemerintah Orde Lama Sokerno tumbang digantikan oleh pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Pada 30 September 1965 terjadi “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh militer, CIA, dan PKI yang mengakibatkan terbunuhnya tujuh pahlawan. Di berbagai daerah terutama Jawa dan Bali terjadi pembantaian missal terhadap orang-orang komunis atau simpatisan mereka. Maka, pasca G 30 S, timbul rasa ketakutan yang luar biasa di kalangan rakyat terhadap tuduhan komunis. Itulah sebabnya banyak orang, demi alasan keamanan diri, mengindentifikasikan dirinya dengan salah satu agama. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para misionaris untuk mengkristenkan umat Islam di berbagai pelosok tanah air, khususnya Makassar, Jawa dan Sumatera.
Gerakan Kristenisasi paska G 30 S ditanggapi Natsir secara kritis dan antisipatif. Pada 1 Januari 1968, Natsir mengingatkan para misionaris Kristen agar tidak mengganggu identitas keislaman kaum Muslimin. Pemeluk Islam dan Kristen hendaknya saling menghormati identitas agama masing-masing. Umat Islam, menurutnya tidak apriori dan menganggap musuh orang-orang non Muslim, tetapi dilarang untuk bersahabat dengan mereka yang mengganggu Islam. bersabat dengan mereka adalah suatu kezaliman. Natsir menyadari bahwa konflik Islam-Kristen sangat dasyat karena kedua agama itu memiliki keyakinan bahwa meninggal dalam melakukan tugas suci agama akan menyebabkan seorang menjadi Martir yang akan dianugerahi surga. Tapi yang terpenting menurut Natsir adalah bagaimana akibatnya bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia bila terjadi konflik itu. Negara akan terancam. Menyadari hal itu, Natsir mengajak kedua pemeluk agama untuk mencari modus vivendi untuk hidup berdampingan secara damai dengan menghormati identitas agama masing-masing.
Di era Orde Baru, sebagaimana para pemimpin Masyumi lainnya, Natsir berharap agar pemerintah memberi angin sejuk buat umat Islam, juga merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan Soekarno pada tahun 1960. Tapi rupanya, Phobi terhadap Masyumi sudah mendarah daging, pemerintah Soeharto ketakutan bila Masyumi bangkit, kekuatan Islam akan menguat, dan itu akan membahayakan posisinya sebagai presiden. Bahkan, tokoh-tokoh Masyumi yang akan tampil kembali ke gelanggang politik, dijegal.
Natsir menyadari betul masalah tersebut. Pada tahun 1967, Ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebagai medan juangnya. Lewat DDII inilah Natsir berhasil menduduki jabatan di berbagai organisasi Islam dunia seperti Word Muslim Congress, Rabitha Alam Islamy (1969), Anggota Dewan Masjid Sedunia, mendidik calon-calon juru dakwah, dan mengirimkannya ke seluruh pelosok Indonesia.
Lewat DDII pula, Natsir berhasil mendidik ribuan ustad yang dikirim ke ribuan masjid. Semangatnya hanya satu, api Islam tak boleh padam. Di mana dan kapan pun, seorang muslim mesti bermanfaat untuk lingkungannya.
Pada 1982 Natsir bersama Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan Jendal (Pur) Nasution dan puluhan tokoh politik menandatangani “pernyataan keprihatinan” yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Karena mereka prihatin menyaksikan politik Orde Baru yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, sangat otoriter dan selalu melakukan cara-cara kekerasan dalam setiap menyelesaikan masalah.
Mendengar pernyataan tersebut Pemerintah Soeharto bukannya menerima, Natsir dan para anggota petisi 50 harus menerima resiko kebebesan berpendapat mereka dibelenggu, dicekal untuk berpergian keluar negeri, dan dituduh sebagai oposon pemerintah Orde Baru.
Pada 6 Februari 1993, Natsir menghadap Illahi Rabbi. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi umat Islam dunia, khususnya Indonesia. Ribuan umat Islam mengantar jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Indonesia berduka, kehilangan satu-satunya putra bangsa yang santun dalam berpolitik, sportif dalam berkompetisi, dan berani berkata benar walau pun itu pahit dan berakhir di Penjara.
Kehebatannya menjadi inspirasi segenap anak negeri. Muhammad Roem berkata; Berjuang untuk agama, rakyat dan negara adalah pendidikan yang dilalui oleh Natsir, dan berdakwah adalah salah satu pelaksanaan dari pendidikan itu.
Ya Tuhan, berikanlah kepada pak Natsir dan bu Natsir usia panjang dan kesehatan baik, agar mereka selama mungkin dapat mengerjakan tugas yang Tuhan telah berikan kepadanya, dan kami anak cucu dan cucu serta kawan-kawan dan pengikutnya masih lama dapat menikmati pimpinannya

Leave a comment